Beranda Berita Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Sunan Drajat + Foto-foto Kuno

Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Sunan Drajat + Foto-foto Kuno

250
0
Masjid Agung PonPes Sunan Drajat Lamongan Jawa Timur
Masjid Agung PonPes Sunan Drajat Lamongan Jawa Timur

SELAYANG PANDANG MASUKNYA ISLAM DI KECAMATAN PACIRAN DAN PERJUANGAN KANJENG SUNAN DRAJAT DI BANJARANYAR

 

Menurut sejarawan, semenjak ke khalifahan dipegang oleh orang-orang Bani Umayyah, para keturunan Sayyidina Ali bin Abi Tholib yang juga merupakan cucu dan keturunan Rasulullah ﷺ senantiasa dikejar-kejar, dicacimaki bahkan dibunuh sebagaimana persitiwa terbantainya Sayyidina Husain bin Ali beserta para pengikutnya di padang Karbala sedangkan Sayyidina Hasan bin Ali diracuni sampai meninggal dunia. Sehingga keturunan Nabi Muhammad ﷺ hanya meninggalkan Sayyidina Ali Zainal Abidin yang saat itu sedang sakit-sakitan. Beliau disembunyikan oleh pengikut setia Rasulullah ﷺ dan dititipkan Kapal besar yang dinahkodai oleh Cheng Ho.

Kapal tersebut singgah di Pulau Jawa dengan penduduk yang sangat ramah-tamah. Sayyidina Ali Zainal Abidin berlabuh dan mensyiarkan agama Islam ditanah Jawa. Sehingga atas jasa beliau dan para Muballigh lainnya, Islam dapat berkembang di pulau Jawa yang saat ini telah menjadi pulau dengan penduduk mayortias muslim terbesar di dunia. Adapun Islam terkuat ditanah Jawa saat ini adalah daerah pesisir utara khususnya di Kecamatan Paciran.

Kecamatan Paciran merupakan bagian dari Kabupaten Lamongan yang teretak di pesisir pantai utara. Bahkan merupakan tempat pendidikan agama Islam terbanyak diseluruh Indonesia, sehingga cukup beralasan kalau kecamatan Paciran dikatakan sebagai tempat yang Islamnya terkuat karena ditunjang oleh banyaknya lembaga pendidikan agama seperti adanya 60 Madrasah Ibtidaiyyah, 29 Madarasah Tsanawiyah, 18 Madrasah Aliyah dan didukung oleh banyak sekali pendidikan-pendidikan diniyah serta Pondok Pesantren yang bertebaran diseluruh wilayah Paciran, sehingga menjadi barometer untuk kabupaten Lamongan dan Jawa Timur bahkan se-Asia Tenggara.

Mengapa kecamatan Paciran menjadi daerah yang paling kuat Islamnya dengan tempat-tempat pendidikan agama yang begitu banyak?Nah… Marilah kita singkap bersama sejarah masuknya Islam di Paciran dan berdirinya Pondok Pesantren Sunan Drajat di Banjaranyar

 

SEKILAS SEJARAH PERJUANGAN MBAH BANJAR, MBAH MAYANG MADU DAN KANJENG SUNAN DRAJAT

Al kisah, pada tahun 1440-an ada seorang pelaut dari Banjar yang sudah memeluk agama Islam tengah melakukan pelayaran di laut Jawa, persis di utara desa  Jelag. Kapal yang tengah berlayar itu tertimpa musibah, sehingga karam di lautan. Sedangkan Mbah Banjar terdampar di tepian pantai desa Banjaranyar yang pada waktu itu masih bernama kampung Jelag, mbah Banjar kemudian ditolong oleh mbah Mayang Madu, seorang penguasa di kampong Jelag yang berasal dari Solo dan merupakan penganut ajaran agama Hindu.

Pada saat itu, kehidupan masyarakat desa Jelag masih dipenuhi dengan berbagai macam kepercayaan terhadapkekuatan ghaib dan roh-roh leluhur (animisme dan dinanisme).Adapun agama yang sedang berkuasa di pulau Jawa pada masa itu adalah agama Hindu dan Budha.

Melihat kedaan dan situasi masyarakat yang sudah terseret kedalam lembah kesesatan dan kemusyrikan ini, beliau terketuk hatinya untuk berusaha menyebarkan ajaran agama yang haq, yakni dinul Islam demi Li i’la li kalimatillah. Akhirnya beliau menetap di kampung Jelag untuk memulai tugas sucinya. Pertama-tama beliau mengajak masyarakat sekitar untuk mau mengikuti jejaknya, hal ini juga tidak dilakukan dengan cara paksaan. Mbah Banjar memberikan contoh bermasyarakat yang baik, sehingga banyak yang tertarik untuk mengikutinya. Dengan penuh kesabaran dan keikhlasan beliau berda’wah kepada masyarakat kampong Jelag dan sekitarnya.

Berkat keteguhan, kesabaran dan ketekunan beliau dalam berjuang akhirnya beliau berhasil meng-Islamkan masyarakat  sekitar, apalagi didukung turutsertanya Mbah Mayang Madu untuk memeluk agama Islam. Masuk Islamnya Mbah Mayang Madu maka hal ini mempunyai arti yang sangat penting bagi proses penyebaran Islam selanjutnya, karena mbah Mayang Madulah yang menyokong dan memberi dukungan penuh kepada baliau serta tidak segan-segan membantu mbah Banjar demi tercapainya tujuan yang mulia itu. Untuk mengenang jasa-jasa dalam merintis jalan dalam menyebarkan Islam di daerah tersebut, maka desa ini yang asalnya bernama kampong Jelag, diganti menjadi desa Banjaranyar, dengan demikian bertambah luaslah wilayah penyebaran Islam.

Selanjutnya, beliau bersama Mbah Mayang Madu saling bahu-membahu dalam memperjuangkan misi sucinya, yakni menyebarkan ajaran Islam yang agung demi tegaknya kalimat tauhid “Laa ilaha illallah”. Dengan berbagai macam rintangan mereka hadapi dengan penuh kesabaran, ketabahan dan semangat perjuangan.

Pada suatu saat, Mbah Banjar berunding dengan Mbah Mayang Madu untuk mewujudkan keinginan beliau yaitu mendirikan tempat pondokan di desa Banjaranyar, namunagaknya hal tersebut menemui kendala dikarenakan tidak adanya tenaga pengajar yang ahli dan menguasai bidang tersebut. Akhirnya Mbah Banjar bersama dengan Mbah Mayang Madu sowan menghadap kanjeng Sunan Ampel di Ampeldenta, Surabaya. Di sana beliau menyampaikan keinginannya untuk mendirikan pondok pesantren dan sekaligus mohon bantuan tenaga pengajar yang ahli dibidang ilmu-ilmu Diniyah. Kanjeng Sunan Ampel sangat senang mendengar tujuan beliau dan dengan senang hati beliau mengabulkan permohonan dan berjanji akan menugaskan putranya, Raden Qosim untuk pergi ke Banjaranyar agar dapat membantu perjuangan Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu di tempat tersebut.

Akhirnya berkat bantuan Raden Qosim dan atas do’a restu Kanjeng Sunan Ampel, berdirilah Pondok Pesantren di Banjaranyar yang lokasinya persis di pondok putri. Disitulah Raden Qosim mulai merintis pondok tempat pendidikan Islam, sebagai bukti nyata adalah peninggalan beliau yang berupa sumur, tempat wudlu’ (padasan)dan musholla yang dibangun di atas pondasi bekas langgar dimana Raden Qosim mangajar yang sampai sekarang masih ada dan dapat di manfaatkan.

Sumur Asli yang dibuat Sunan Drajat, berdampingan dengan Mushollah dan Tempat Wudhu (Pandasan)
Sumur Asli yang dibuat Sunan Drajat, berdampingan dengan Mushollah dan Tempat Wudhu (Pandasan)

 

Tempat Wudhu Sunan Drajat (padasan), yang kini tinggal bekasnya saja.
Tempat Wudhu Sunan Drajat (padasan), yang kini tinggal bekasnya saja.

 

Mushollah Pondok Putri Sunan Drajat.Dibangun diatas Mushollah Asli Sunan Drajat ketika mengajarkan Ilmu Agama kepada para santrinya.
Mushollah Pondok Putri Sunan Drajat.Dibangun diatas Mushollah Asli Sunan Drajat ketika mengajarkan Ilmu Agama kepada para santrinya.

 

Raden Qosim atau Kanjeng Sunan Drajat dikenal sebagai seorang ulama’ yang berjiwa sosial tinggi, perjuangan beliau lebih dititik beratkan pada da’wah bil hal dan usaha-usahanya untuk meninggalkan kesenjangan social dan upaya mengentas kemiskinan seperti menyantuni anak yatim, faqir miskin, menolong orang yang lemah dan sebagainya. Diantara ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah :

 

 Wenehono teken marang wong kang wutho

 Wenehono mangan marang wong kang luwe

 Wenehono busono marang wong kang wudho

 Wenehono iyupan marang wong kang kudanan

 

Maksud dari pada ajaran-ajaran tersebut, adalah antara lain bahwa manusia sebagai makhluq yang berakal budi dianjurkan :

  1. Memberikan ilmu agar orang menjadi pandai
  2. Berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang miskin
  3. Mengajari kesusilaan terhadap orang yang tidak punya rasa malu
  4. Memberikan perlindungan kepada orang yang lemah/menderita

Hingga saat ini ajaran beliau sama sekali tiada yang bertentangan dengan keadaan, situasi dan kondisi alam pemikiran masyarakat pada umumnya, hal ini secara jelas menunjukan bahwa Raden Qosim merupakan sebuah figur ulama yang berpandangan luas dan jauh ke depan, berkepribadian penyantun dan welas asih serta ucapannya penuh dengan nilai hikmah yang tinggi.

Dalam usahanya untuk menyebarkan agama Islam kepada masyarakat yang ada di sekitarnya, Raden Qosim juga menggunakan pendekatan seni budaya. Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan metode kesenian guna menarik perhatian masyarakat sekitar yang pada waktu itu masih beragama Hindhu-Budha. Sehingga karena itulah beliau menciptakan tembang pangkur dan menggunakan alunan suara gamelan atau gending untuk mengumpulkan masa di masjid yang telah didirikan oleh Mbah Mayang Madu tersebut dinamakan masjid Gendingan. Demikian luwesnya Raden Qosim dalam memfungsikan masjid benar-benar mengena di masyarakat.

Masjid Nggendingan. Disinilah Kanjeng Sunan Drajat memainkan Gending untuk menyebarkan syiar Islam
Masjid Nggendingan. Disinilah Kanjeng Sunan Drajat memainkan Gending untuk menyebarkan syiar Islam

Adapun cara Raden Qosim untuk menarik minat masyarakat agar mau mempelajari dan mendalami ilmu diniyah, maka beliau menjanjikan bagi siapa saja yang mau belajar kepadanya maka ia akan memperoleh derajat yang luhur. Maka dari itu tempat dimana beliau mengajar ilmu agama tersebut dinamakan dengan tanah Drajat. Adapun Raden Qosim sebagai pengajarnya dinamakan Sunan Drajat.

Pondok Pesantren Putri Sunan Drajat yang dibangun diatas tanah milik Sunan Drajat
Pondok Pesantren Putri Sunan Drajat yang dibangun diatas tanah milik Sunan Drajat

Tidak beberapa lama kemudian Mbah Banjar berpulang ke Rahmatullah. Beliau dimakamkan di desa Banjaranyar bagian utara.

Makam Mbah Banjar. Orang yang pertama kali merintis penyebaran Islam di Banjaranyar Kec. Paciran, sebelum kedatang Sunan Drajat
Makam Mbah Banjar. Orang yang pertama kali merintis penyebaran Islam di Banjaranyar Kec. Paciran, sebelum kedatang Sunan Drajat

Beberapa tahun kemudian, Mbah Mayang Madu pun wafat, beliau dimakamkan di belakang masjid Jelaq dan mendapat julukan Sunan Jelaq.

Makam Mbah Mayang Madu/Sunan Jelaq beserta Istri
Makam Mbah Mayang Madu/Sunan Jelaq beserta Istri

 

Cungkup Makam Mbah Mayang Madu. Disanalah Mbah Mayang Madu/ Sunan Jelaq bersama keluarga di semayamkan
Cungkup Makam Mbah Mayang Madu. Disanalah Mbah Mayang Madu/ Sunan Jelaq bersama keluarga di semayamkan.

 

Gapura Masjid Jelaq Banjaranyar Paciran Lamongan
Gapura Masjid Jelaq Banjaranyar Paciran Lamongan

Sepeninggalnya Mbah Banjar dan Mbah Mayang Madu, maka tinggallah Kanjeng Sunan Drajat yang melanjutkan usaha-usaha yang sebelumnya dirintis oleh beliau bersama almarhum.

Dalam perjuangannya beliau dibantu oleh para santrinya yang menjadi pembantu setia dalam mengemban misi. Suka duka perjuangan silih berganti mewarnai kehidupan Kanjeng Sunan Drajat dan para santrinya di Banjaranyar. Masa-masa sulit beliau jalani dengan tabah dan tawakal. Segala macam rintangan dan halangan yang datang silih berganti dari orang-orang yang iri dan dengki serta usaha-usaha yang dilakukan untuk menjegal perjuangan, beliau hadapi dengan tenang.

Pernah suatu hari beliau dilempari batu oleh penduduk desa setempat ketika sedang berda’wah, namun beliau tetap bersiteguh untuk berjuang di jalan Allah swt. Dan untuk mengenang peristiwa tersebut, maka kampung tersebut dinamakan kampung Mbandilan yang sekarang telah menjadi area pondok pesantren Sunan Drajat pula.

 

Kampung Mbandilan
Kampung Mbandilan

 

Aula PonPes Sunan Drajat yang dibangun diatas kampung Mbandilan yang kini menjadi area pondok pesantren putra Sunan Drajat
Aula PonPes Sunan Drajat yang dibangun diatas kampung Mbandilan yang kini menjadi area pondok pesantren putra Sunan Drajat

Waktupun terus berlalu, kian hari perkembangan pondok pesantren di Banjaranyar mengalami kemajuan yang sangat pesat, sikap permusuhan yang datang dari para penduduk berubah menjadi kecintaan yang dalam. Para pemuda banyak yang berdatangan dari daerah-daerah ke pondok pesantren guna menimba ilmu agama kepada beliau. Mereka itulah yang kemudian dikader menjadi para da’i dan mubaligh yang tangguh, tabah dan berkompeten lalu disebarkan kepelosok negeri atau kembali ke kampung halamannya sambil membawa misi Islam.

Keberhasilan perjuangan Kanjeng Sunan Drajat di Banjaranyar tidaklah membuat beliau menjadi puas, lalu duduk berpangku tangan menikmati hasil perjuangannya, akan tetapi hal tersebut justru mendorong beliau untuk lebih giat dalam mengembangkan agama Islam ditempat lain. Karena itulah, beliau membangun sebuah masjid di kampung sentoro yang letaknya persis di sebelah timur komplek makam Sunan Drajat, sebagai tempat beliau memberikan pengajian, mengajar dan mendidik para santrinya. Desa di mana beliau mendirikan masjid tersebut akhirnya diberi nama desa Drajat, adapun masjid yang telah dibangun Kanjeng Sunan Drajat sendiri pada tahun 1424 Jawa atau 1502 M. kini telah musnah akibat gempa bumi yang pernah terjadi dua ratus tahun silam, namun sebagai gantinya, di tempat tersebut kini telah didirikan masjid yang direnovasi sebagaimana bentuk aslinya.

 

Masjid Sunan Drajat yang mengambil arsitektur Jawa Kuno disesuaikan dengan bentuk aslinya yang didirikan diatas bekas masjid yang dibangun ole Kanjeng Sunan Drajat
Masjid Sunan Drajat yang mengambil arsitektur Jawa Kuno disesuaikan dengan bentuk aslinya yang didirikan diatas bekas masjid yang dibangun ole Kanjeng Sunan Drajat

Pada masa Kanjeng Sunan Drajat inilah desa Banjaranyar, Drajat dan sekitarnya menjadi sentral pendidikan dan aktifitas keagamaan serta menjadi mercusuar penyebaran Islam di daerah pesisir pantai utara khususnya di daerah Paciran. Akhirnya beliau wafat pada tanggal 25 Sya’ban dan dimakamkan di belakang masjid tempat beliau mengajar sebagaimana yang telah kita saksikan saat ini.

Dalam kehidupan berumah tangga. Kanjeng Sunan Drajat mempunyai dua istri. Istri beliau yang pertama adalah putri Mbah Mayang Maduyang makamnya terletak di belakang masjid Jelag Banjaranyar.Dan karena itulah setelah Mbah Mayang Madu meninggal. Kanjeng Sunan Drajat mendapatkan gelar Sunan Mayang Madu. Adapun istri beliau yang kedua adalah seorang putri Kediri yang bernama Retno Condro Sekar Putri Adipati Surya dilaga, beliau dimakamkan berdampingan dengan makam Kanjeng Sunan Drajat. Dari kedua istri beliau inilah Kanjeng Sunan Drajat mendapat keturunan yang akhirnya berkembang dalam suatu keluarga besar yang tersebar hingga saat ini.

 

Komplek makam Sunan Drajat diamana beliau disemayamkan berdampingan dengan istrinya Putri Retno Condro Sekar.
Komplek makam Sunan Drajat diamana beliau disemayamkan berdampingan dengan istrinya Putri Retno Condro Sekar.

Sepeninggalan Kanjeng Sunan Drajat. Tongkat estafet perjuangan diteruskan oleh para keturunan beliau. Namun lambat laun, perkembangan pondok pesantren di Banjaranyar mengalami kemunduran seiring dengan perjalananwaktu dan akhirnya lenyap tanpa bekas, yang tertinggal hanya pondasi bekas musholla dan sumur yang tertimbun tanah sebagai saksi bisu terhadap sejarah yang pernah tergores di atasnya. Keadaan tatanan kehidupan masyarakat pada waktu itu benar-benar memprihatinkan. Tempat di masa Islam pertama kali berkembang, saat itu telah menjadi pusat kegiatan kemaksiatan dan kemusyrikan. Di desa Banjaranyar muncullah beberapa tempat pelacuran, gedung-gedung pertunjukan yang menjadi ajang kemungkarang, munculnya beberapa germo dan bandar judi yang terkenal di daerah pesisir utara pada masa itu. Bahkan tanah bekas pondok pesantren yang didirikan oleh Kanjeng Sunan Drajat dijadikan sebagai tempat pemujaan. Namun kejadian-kejadian tersebut segera berakhir setelah di tanah bekas pondok tersebut didirikan kembali pondok pesantren yang bertujuan untuk meneruskan perjuangan yang telah dirintis oleh Wali songo.

Pada tahun 1977, berdirilah “pondok pesantren Sunan Drajat” dengan pengasuh tunggal serta generasi muda, beliau inilah sebagai penerus dan pembangkit tenggelamnya sejarah dan penyebar Islam.Siapakah beliau? Tidak lain adalah Prof. DR. KH. Abdul Ghofur. Dengan malang melintang serta usaha yang tak kunjung padam, sehingga saat ini perkembangan pondok pesantren Sunan Drajat semakin mencuat dan maju sebagaiman tuntunan zaman. Perkembangan tersebut sengaja tidak kami muat, agar pembaca melihat sendiri dari dekat.

Demikianlah sekilas hikayat sejarah masuknya agama Islam dan perkebangannya di pesisir pantai utara kabupaten Lamongan khususnya di wilayah Paciran yang tidak lepas kaitannya dari perjuangan dan jasa Mbah Banjar, Mbah Mayang Madu dan Wali songo, dalam hal ini adalah Kanjeng Sunan Drajat atau Sunan Mayang Madu. Karena itulah untuk mengenang jasa-jasa beliau semua, maka di setiap tanggal 23-24 Sya’ban pondok pesantren mengadakan acara Haul akbar yang bersamaan dengan acara haulnya Mbah Martokan, ayahanda Romo KH. Abdul Ghofur.

Semoga segala perjuangan dan amal mereka didalam menyebarkan ajaran agama Islam senantiasa diterima oleh Allah SWT dan mendapat ganjaran yang terus berlimpah serta diberi kedudukan yang tinggi disisiNya. Aamiin….

 

======================

Diambil dari buku “Selintas Hikayat, Perjungan Mbah Banjar, Mbah Mayang Madu, dan Kanjeng Sunan Drajat, Di Desa Banjaranyar Paciran Lamongan”

Ditulis ulang oleh Ahmad Zaki (Santri Ponpes Sunan Drajat)

Editor Oleh Ustadz Mc.Faisal Fahmi,S.Pd.I

=====================

Nantikan juga foto perkembangan pesantren Sunan Drajat masa kini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini